Friday, August 1, 2008

114. Coblosan

Coblosan

Ini suatu hal yang unik. Bagi yang terlibat mungkin sangat menikmatinya. Bahkan kadang2 terkesan keterlaluan. Kita yang melihatpun bisa senyum2 dengan ulah mereka.
Misal yang satu ini, panitianya, sampai2 ada yang berdandan ala warok, atau berkostum punokawan, surjan blangkon. Wah gak taulah gejala apa ini sebenarnya. Juga teropnya ada yang dihias macem2, ada yang pakai gebyog ala panggung pengantin bahkan pakai musik segala. Sebenarnya sih sah2 saja. Tapi terasa maaf kurang waras. Childish, anehnya ide itu diterima oleh kelompok ditempat itu. Belum lagi dananya, sepertinya buang2 uang saja, yang tak urung juga minta sumbangan dari para warga. Dan hasilnya ...... sekedar clometan.
Apakah ini gejala ketidak seriusan dari sebuah komunitas yang ingin lari dari kenyataan, lari dari kemiskinan, ketertekanan, lari dari kesulitan hidup, sehingga lari dari keseriusan?
Mungkin juga akibat dari ketertindasan yg dialami sebuah bangsa selama berabad2.

Coblosan kadang disebut sebagai pesta demokrasi. Habis dimana2 banyak duit dihambur2kan sehingga layak disebut pesta. Namun akibat perilaku para pemimpin yang kadang menciderai constituennya ahir2 ini nampak ketidak pedulian para masyarakat pada acara pesta itu... dimana mereka acuh dengan hingar bingarnya acara tersebut.
Ditahun 1955 dimana coblosan pertama kali diadakan rakyat sangat antusias. Mereka bebas tanpa merasa ada tekanan politik, para pemimpinpun mempunyai visi misi yang jelas, masih mempunyai nilai2 yang bagus dimata pendukungnya.
Saat itu politik idiologis sangat jelas, ada nasionalis agama dan komunis, yang mana tentu saja sering berbenturan sehingga membawa korban baik politis maupun physik dan materi. Coblosan saat itu paling bergairah bagi masyarakat.
Di tahun 1971 (?) coblosan diadakan lagi. Masyarakat masih bebas memilih, tetapi lima tahun kemudian ketertekanan sangat terasa mereka diarahkan memilih partai tertentu yang mau tidak mau harus mereka pilih. Demikian bertahun2 mereka alami sampai tiba zamannya reformasi.
Diawal masa reformasi (?) coblosan bergairah lagi. Warga memilih para pemimpin2 bangsa lewat parpol idolanya. Dengan penuh harapan mereka memilih untuk sebuah perbaikan nasib bangsa. Tetapi setelah tampilan para pemimpin terpilih ternyata sangat jauh dari harapan membuat masyarakat belakangan ini kurang berminat untuk mencoblos atau mereka memilih untuk tidak memilih alias golput.
Apalagi kalau ada putaran kedua untuk pemilihan kepala daerah maka yang jagonya sudah kalah tentu saja malas untuk pergi kebilik coblosan. Itu teorinya tapi benarkah demikian? karena dijaman yang materialistis ini suarapun bisa dijadikan barang komodity.
Voice is money ???
xx

8 comments:

Pursito said...

Demokrasi, katanya, artinya kekuasaan di tangan rakyat, semua mengatas namakan kepentingan rakyat, demi rakyat, tapi rakyat yang mana?. Rakyat tidak berpikir pilkada pakai putaran kedua segala. Rakyat hanya tahu memenuhi kewajiban warga negara untuk ikut nyoblos. Hasilnya? rakyat tetap ngosngosan. kapan Ya Adil makmur untuk rakyat?. mas Sito

Raf said...

Putaran pertama di Jatim yang terkenal sebagai tuan rumah bagi salah satu partai saja angka "tan-suara" bisa mencapai 36 % tentulah membuat kita semakin bertanya ...apakah rakyat masih peduli ..?

Betul juga pak , kalau nanti semakin banyak yang nggak peduli maka komoditas suara jadi bisnis bermasa depan ...

wasslam,
Raf

Indro Saswanto said...

*Mas Sito '' kita mendambakan adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan. Nampaknya hal itu hanya mudah diucapan saja dan rupanya semangkin jauh dari harapan.
* Dik Raf '' Di negeri kita makin banyak politik dagang suara, juga politik daqang sapi, pokoknya aneh2 deh.
Wass.

Mbah Suro said...

Nyoblos sepisan wae lempeh-lempeh, apalagi nyoblos pindo, golput aja deh.... gak ada yang dipilih..

Indro Saswanto said...

mBah
Maunya milih lagi
tapi sudah nggak ada amunisi..

Indro Saswanto said...

*☺>>0oooo..!!

paromo suko said...

dalam ungkapan suroboyoan:
babahno,
gak ngurus, emplok-emploken dewe

Indro Saswanto said...

Bentar lagi putaran kedua pilkada.
Tunggu amplopan,
nek moh tak emplok dewek